Sungguh malang nasibmu ibu Pertiwi. Bangsa yang sangat aku banggaka sejak aku mengenal kursi sekolah dimana aku diperkenalkan pada Sang Ibu Pertiwi lewat seorang Guru. Guru...yang mungkin sama nasibnya dengan Ibu Pertiwi-ku.
Siapakah Sang Ibu Pertiwi? Memang hingga saat ini aku tidak pernah dan tak akan melihat paras wajahnya. Kalau pun ada, mungkin matanya sudah bengkak, wajahnya mengkerut dan sangat memilukan hati. Kenapa tidak? Ya wajarlah. Sang Ibu Pertiwi tidak lagi dibanggakan dan membanggakan, baik di dalam atau di luar negeri ini.
Perhatikan nasib bangsa Indonesia? Berkali-kali aku melihat pemberitaan di media massa, opini pakar dan pengamat, kritikan di radio, pengalaman pribadi diplomat, dan segala macam. Semuanya hampir sama dan akan membuat hati sang Ibu Pertiwi-ku semakin teriris.
Baru-baru ini, aku mendapat telepon kritikan dari pendengar setia radio tempat aku mengabdi saat ini. Dalam telepon kira-kira begini percakapan yang terjadi antara kami.
Halo, Selamat siang!, sahutku mengangkat telepon.
Iya, saya ini pendengar setia radio anda. Nama saya Ibu Ratna (sebut saja demikian), begitu suara ibu-ibu menjawab sahutanku di telepon.
Ada yang bisa saya bantu Ibu?, Tanyaku lagi
Iya, saya agak heran dengan radio anda ini, Balasnya.
Memangnya ada apa ya bu?, tanyaku lagi dengan penasaran.
Itu, tolong iklan dari pemerintah Malaysia jangan diputar lagi. Tegasnya.
ada apa dengan iklan tersebut?
Begini, saya baru mendengar iklan 100 tahun spirit for Indonesia. Di situ saya menangkap makna mendalam pada nasionalisme. Saya terharu. Tetapi kemarin itu, kenapa ada iklan yang memojokkan negara sendiri?, jelasnya.
Aku pun cukup terkejut campur haru dengan kritikan itu. Baru kali ini aku mendapat respon tegas dari pendengar setia. Memang benar, kedubes malaysia memasang iklan pameran pendidikannya ke radio.
Ibu itupun kembali melanjutkan, dalam iklan itu Malaysia memojokkan bangsa kita, masa' biaya hidup di Indonesia katanya lebih mahal dibandingkan di Malaysia?
iya bu, tapi itu kan juga berdasarkan survey dari Koran Nasional berbahasa Inggris, atau survey internasional, sambungku menyakinkan ibu itu.
Saya tahu, tapi koq kita mau-maunya dibodoh-bodohi oleh negara tetangga yang nyata-nyata telah mencuri harta kekayaan kita, ujarnya.
Aku pun membalasnya, baik ibu terimakasih atas masukan dan kritikannya. Kami sangat menghargainya.
Lain kali tolong di-sortir dulu lah iklan yang akan diputar. Saya ini pendengar setia lho!, tegasnya lagi
Baik ibu, sekali lagi terimakasih, dan masukan ibu sangat berarti bagi kemajuan perusahaan kami. Mohon maaf apabila ada konten siaran kami yang tidak mengenakkan Ibu selaku pendengar, mohonku pada ibu itu layaknya sebagai seorang Customer Service perusahaan.
Telepon pun ditutup. Aku pun menghela napas lega. Perasaan campur baur sekaligus memikirkan apa yang telah aku lakukan.
Faktanya begini, beberapa waktu lalu, aku memang pernah memproduksi iklan dari klien kedubes malaysia yang menggelar pameran pendidikan di Pekanbaru-Riau Indonesia. Dalam bahan/ materi iklan itu disebutkan bahwa, ".....biaya pendidikan dan hidup di Malaysia lebih murah dibandingkan Jakarta-Indonesia. Dari daftar negara dengan biaya hidup termahal di dunia yang dipublikasikan oleh Harian The Jakarta Post (2008 ini), Malaysia berada di urutan 33, sementara Indonesia di urutan ke-11. Peringkat pertama diduduki oleh Korea Selatan (Seoul). Aku rasa ini sebuah hal yang lumrah dan cukup objektif dan tidak begitu mempengaruhi nasionalisme selaku bangsa Indonesia.
Justru, inilah cambukan bagi kita bangsa indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah. Mata uang kita yang nilainya masih jauh kalah dibanding negara-negara tetangga. Padahal dulu Indonesia sangat disegani se Asia Tenggara. Malaysia yang dulu belum apa-apa, mengimpor tenaga pendidiknya dari Indonesia. Tapi kenapa Indonesia semakin begini adanya? Sementara Malaysia, negara tetangga yang agresif dan serba mengklaim seluruh milik Bangsa Indonesia?
Sebuah Klaim yang segera menyadarkan bangsa Indonesia....? lagu Rasa sayange contohnya, rasa sayang itu ada setelah segalanya bukan jadi milik kita. Memang....sesuatu itu akan menjadi begitu berharga setelah diambil oleh tetangga atau orang lain. Mulai dari pulau-pulau, tambang galian dan kesenian budaya, hingga seluruh aset kekayaan negeri kita, semuanya akan terasa hilang jika telah menjadi milik orang lain.
Mungkin kita harus segera menghitung kembali aset-aset kenegaraan kita, agar tidak diambil lagi oleh lain. Akan tetapi kalau selesai dihitung, akan kita apakan lagi? Sanggupkah kita memberdayakannya? Atau sebaliknya, kita yang bikin, lalu dijual ke negara lain?
Pada suatu kesempatan aku sempat berbincang dengan salah seorang atase pendidikan Kedubes Malaysia. Ia mengaku sungguh sangat prihatin dengan persoalan bilateral antara Indonesia dengan Malaysia. Menurutnya, apa-apa yang terjadi saat ini di Malaysia, justru dimotori oleh para generasi muda yang tidak memahami sejarah. Penduduk Melayu di Malaysia saat ini, 80% di antaranya berasal dari Indonesia. Ia sendiri mengaku asli keturunan Bugis. Kakeknya yang hijrah ke Malaysia waktu itu.
Di luar segala bentuk pledoi dari sang diplomat negeri jiran tadi, aku hanya mengambil sudut pandang positif. Sebagai bangsa serumpun, hendaknya kita justru lebih akur. Meminjam slogan Pegadaian, Mengatasi masalah tanpa masalah. Jika kita takut harta kita diambil orang lain, ya simpanlah baik-baik. Tapi apa gunanya disimpan? Lebih baik kita perdayakan dan memberikan nilai tambah kepada negeri ini. Mari lihat Bangsa Eropa yang mampu bersatu menjadi EU. Bermata uang sama dan saling memperkuat eksistensinya di dunia internasional. Indonesia dan negara Asean lainnya, mungkin belum sampai pada tahap itu. Minimal Indonesia semakin memperjelas visi dan bertindak berani untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial yang terpuruk. Sudahlah kita di negeri sendiri ketakutan, terancam, was-was dan jauh dari perhatian pemerintah, mungkin pilihan terbaik adalah mencari suaka ke negara lain. Akan tetapi bagaimana nasib kita di negara orang? Sanggupkah kita mendengar sebutan INDON apabila di Malaysia? Indon, konotasi kelas pembantu. Atau ditangkapi di Singapura, Jerman, Amerika, yang menyebut kita sebagai Teroris potensial?
Apakah memang sebegitu hinanya kita sebagai bangsa Indonesia jika akan bertandang ke luar negeri? Saya pernah mendengar dan membaca di surat kabar. Presiden Republik Indonesia pun jika datang ke Negara Adikuasa (Amerika Serikat), malah tidak dianggap. Presiden yang merupakan representatif dari negara berpenduduk 200 juta jiwa lebih ini, mayoritas muslim, terbesar di asia tenggara, justru tidak mendapatkan porsi pemberitaan di media setempat. Ibaratnya, jika Presiden datang, ya datanglah....Tidak ada perlakuan istimewa dan pemberitaan. Tapi jika Presiden China yang datang? Mungkin wartawan setempat sudah diwanti-wanti agar jangan sampai bobol berita kedatangannya itu.
Lihat saja, jika ada pose foto bersama Presiden dan Kepala Negara di kancah Internasional beberapa waktu lalu. Di mana Presiden kita berdiri? Ya....di posisi paling pinggir, belakang lagi.
Ini suatu bentuk lemahnya bargaining position bangsa besar Indonesia di mata dunia. Dulu, jika Alm. Pak Harto (Presiden Ke-2 RI) batuk di forum internasional, semua peserta sudah sibuk mengiterpretasikan makna "batuk" itu. Jika Pak Harto tidak datang ke sebuah pertemuan Asean, bisa batal itu acara. Karena kedatangan Pak Harto waktu itu dikawal sangat ketat oleh TNI dan perlengkapannya. Sekarang apa?
Lalu, bagaimana nasib para pahlawan devisa kita? TKI dan TKW di luar negeri? Sudahkah Pemerintah kita menjamin keselamatannya? Sejauh mana upaya kita menekan bangsa lain yang mempekerjakan rakyat Indonesia yang terancam nyawanya? Adakah orang di luar sana, segan dan takut kepada WNI yang melancong ke luar negeri? Justru kita jadi bulan-bulanan. Kalau ke malaysia, kita disebut Indon (ungkapan kata yang meremehkan), lalu kalau datang sendiri ditanyakan siapa majikannya? Mau kemana? Uang ada berapa? Kapan pulang?. Pertanyaan sepele itu bertubi-tubi datang dalam beberapa detik saja.
Kasus terbaru lagi, Advokat senior Indonesia, Adnan Buyung Nasution atau akrab disapa Bang Buyung, dan mantan Jaksa Agung RI, Abdurrahman Saleh atau Pak Arman, diinterogasi di Singapura. Ditanya hal-hal sepele dan membosankan. Untung ada Mantan Menlu RI, Ali Alatas yang membantu membebaskannya.
Lalu, seorang pengusaha Indonesia di Jerman yang juga dicegat oleh polisi setempat. Penangkapan tiba-tiba itu dilakukan setelah adanya laporan dari Toko tempat ia berbelanja sebelumnya, bahwa kartu kreditnya bermasalah. Tindakan penangkapan itu sangat tidak sopan dan kasar. Ini sungguh telah menginjak-injak harga diri WNI dan Bangsanya. Setelah diiterogasi beberapa lama, akhirnya Pengusaha WNI itu dibebaskan tanpa ada masalah. Namun Polisi setempat tidak minta maaf.
Mampukah kita menekan bangsa lain itu bahwa keselamatan warganya yang di luar negeri sama dengan keselamatan seorang Kepala Negara atau Presidennya ketika berkunjung juga di sana?
Mengapa kita justru sibuk dengan memikirkan politik? Perebutan kekuasaan? dan perang opini di media? Bagaimana dengan nasib rakyat? Perbaikan sarana dan prasarana? Ketertiban dan ketenteraman?
Mengapa kita tidak segera melakukan pembenahan dari dalam? Apa saja yang masih tersisa di negeri ini? Atau mari kita serahkan saja negeri ini kepada tetangga agar bisa bagus jalannya, dan warga kita tidak lagi pindah/ migrasi ke negeri tetangga? Biar kita tau beres saja.
Sebelumnya, mari kita inventarisir dulu apa saja milik kita yang telah hilang dan menjadi milik orang lain dan sekarang menjadi begitu mahalnya.
1. Emas
Ada pulau yang penuh emas tapi masih ada penduduknya yang kekurangan "celana"! Rasa sayange...rasa sayang...sayange..ee lihat dari jauh rasa sayang....sayangee.......
2. Malu
Ini kan sudah lama hilangnya. Orang jelas sudah tahu kaya akan hasil korupsi koq malah gaya.
3. Martabat
Ini apakah termasuk milik kita yang hilang? Wah....ternyata tidak, malah kita bertanya lagi, apakah kita pernah punya?
Rasa Sayangee....rasa sayang...sayangee.....ee.......STOP! Inikan sudah menjadi milik tetangga juga, kenapa kita masih menyanyikannya? hehehehe.......
Yaa....tapi itung-itung, tenggorokan kan masih kita yang punya.....hahahahaha.....
Itulah....Bangsaku Indonesia Sayang-ku. Jika tidak waspada, negeri kita cuma punya hak guna usaha, sementara hak milik negeri kita sudah berpindah menjadi milik negara tetangga.
Na'udzubillahi minzalik..
Siapakah Sang Ibu Pertiwi? Memang hingga saat ini aku tidak pernah dan tak akan melihat paras wajahnya. Kalau pun ada, mungkin matanya sudah bengkak, wajahnya mengkerut dan sangat memilukan hati. Kenapa tidak? Ya wajarlah. Sang Ibu Pertiwi tidak lagi dibanggakan dan membanggakan, baik di dalam atau di luar negeri ini.
Perhatikan nasib bangsa Indonesia? Berkali-kali aku melihat pemberitaan di media massa, opini pakar dan pengamat, kritikan di radio, pengalaman pribadi diplomat, dan segala macam. Semuanya hampir sama dan akan membuat hati sang Ibu Pertiwi-ku semakin teriris.
Baru-baru ini, aku mendapat telepon kritikan dari pendengar setia radio tempat aku mengabdi saat ini. Dalam telepon kira-kira begini percakapan yang terjadi antara kami.
Halo, Selamat siang!, sahutku mengangkat telepon.
Iya, saya ini pendengar setia radio anda. Nama saya Ibu Ratna (sebut saja demikian), begitu suara ibu-ibu menjawab sahutanku di telepon.
Ada yang bisa saya bantu Ibu?, Tanyaku lagi
Iya, saya agak heran dengan radio anda ini, Balasnya.
Memangnya ada apa ya bu?, tanyaku lagi dengan penasaran.
Itu, tolong iklan dari pemerintah Malaysia jangan diputar lagi. Tegasnya.
ada apa dengan iklan tersebut?
Begini, saya baru mendengar iklan 100 tahun spirit for Indonesia. Di situ saya menangkap makna mendalam pada nasionalisme. Saya terharu. Tetapi kemarin itu, kenapa ada iklan yang memojokkan negara sendiri?, jelasnya.
Aku pun cukup terkejut campur haru dengan kritikan itu. Baru kali ini aku mendapat respon tegas dari pendengar setia. Memang benar, kedubes malaysia memasang iklan pameran pendidikannya ke radio.
Ibu itupun kembali melanjutkan, dalam iklan itu Malaysia memojokkan bangsa kita, masa' biaya hidup di Indonesia katanya lebih mahal dibandingkan di Malaysia?
iya bu, tapi itu kan juga berdasarkan survey dari Koran Nasional berbahasa Inggris, atau survey internasional, sambungku menyakinkan ibu itu.
Saya tahu, tapi koq kita mau-maunya dibodoh-bodohi oleh negara tetangga yang nyata-nyata telah mencuri harta kekayaan kita, ujarnya.
Aku pun membalasnya, baik ibu terimakasih atas masukan dan kritikannya. Kami sangat menghargainya.
Lain kali tolong di-sortir dulu lah iklan yang akan diputar. Saya ini pendengar setia lho!, tegasnya lagi
Baik ibu, sekali lagi terimakasih, dan masukan ibu sangat berarti bagi kemajuan perusahaan kami. Mohon maaf apabila ada konten siaran kami yang tidak mengenakkan Ibu selaku pendengar, mohonku pada ibu itu layaknya sebagai seorang Customer Service perusahaan.
Telepon pun ditutup. Aku pun menghela napas lega. Perasaan campur baur sekaligus memikirkan apa yang telah aku lakukan.
Faktanya begini, beberapa waktu lalu, aku memang pernah memproduksi iklan dari klien kedubes malaysia yang menggelar pameran pendidikan di Pekanbaru-Riau Indonesia. Dalam bahan/ materi iklan itu disebutkan bahwa, ".....biaya pendidikan dan hidup di Malaysia lebih murah dibandingkan Jakarta-Indonesia. Dari daftar negara dengan biaya hidup termahal di dunia yang dipublikasikan oleh Harian The Jakarta Post (2008 ini), Malaysia berada di urutan 33, sementara Indonesia di urutan ke-11. Peringkat pertama diduduki oleh Korea Selatan (Seoul). Aku rasa ini sebuah hal yang lumrah dan cukup objektif dan tidak begitu mempengaruhi nasionalisme selaku bangsa Indonesia.
Justru, inilah cambukan bagi kita bangsa indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah. Mata uang kita yang nilainya masih jauh kalah dibanding negara-negara tetangga. Padahal dulu Indonesia sangat disegani se Asia Tenggara. Malaysia yang dulu belum apa-apa, mengimpor tenaga pendidiknya dari Indonesia. Tapi kenapa Indonesia semakin begini adanya? Sementara Malaysia, negara tetangga yang agresif dan serba mengklaim seluruh milik Bangsa Indonesia?
Sebuah Klaim yang segera menyadarkan bangsa Indonesia....? lagu Rasa sayange contohnya, rasa sayang itu ada setelah segalanya bukan jadi milik kita. Memang....sesuatu itu akan menjadi begitu berharga setelah diambil oleh tetangga atau orang lain. Mulai dari pulau-pulau, tambang galian dan kesenian budaya, hingga seluruh aset kekayaan negeri kita, semuanya akan terasa hilang jika telah menjadi milik orang lain.
Mungkin kita harus segera menghitung kembali aset-aset kenegaraan kita, agar tidak diambil lagi oleh lain. Akan tetapi kalau selesai dihitung, akan kita apakan lagi? Sanggupkah kita memberdayakannya? Atau sebaliknya, kita yang bikin, lalu dijual ke negara lain?
Pada suatu kesempatan aku sempat berbincang dengan salah seorang atase pendidikan Kedubes Malaysia. Ia mengaku sungguh sangat prihatin dengan persoalan bilateral antara Indonesia dengan Malaysia. Menurutnya, apa-apa yang terjadi saat ini di Malaysia, justru dimotori oleh para generasi muda yang tidak memahami sejarah. Penduduk Melayu di Malaysia saat ini, 80% di antaranya berasal dari Indonesia. Ia sendiri mengaku asli keturunan Bugis. Kakeknya yang hijrah ke Malaysia waktu itu.
Di luar segala bentuk pledoi dari sang diplomat negeri jiran tadi, aku hanya mengambil sudut pandang positif. Sebagai bangsa serumpun, hendaknya kita justru lebih akur. Meminjam slogan Pegadaian, Mengatasi masalah tanpa masalah. Jika kita takut harta kita diambil orang lain, ya simpanlah baik-baik. Tapi apa gunanya disimpan? Lebih baik kita perdayakan dan memberikan nilai tambah kepada negeri ini. Mari lihat Bangsa Eropa yang mampu bersatu menjadi EU. Bermata uang sama dan saling memperkuat eksistensinya di dunia internasional. Indonesia dan negara Asean lainnya, mungkin belum sampai pada tahap itu. Minimal Indonesia semakin memperjelas visi dan bertindak berani untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial yang terpuruk. Sudahlah kita di negeri sendiri ketakutan, terancam, was-was dan jauh dari perhatian pemerintah, mungkin pilihan terbaik adalah mencari suaka ke negara lain. Akan tetapi bagaimana nasib kita di negara orang? Sanggupkah kita mendengar sebutan INDON apabila di Malaysia? Indon, konotasi kelas pembantu. Atau ditangkapi di Singapura, Jerman, Amerika, yang menyebut kita sebagai Teroris potensial?
Apakah memang sebegitu hinanya kita sebagai bangsa Indonesia jika akan bertandang ke luar negeri? Saya pernah mendengar dan membaca di surat kabar. Presiden Republik Indonesia pun jika datang ke Negara Adikuasa (Amerika Serikat), malah tidak dianggap. Presiden yang merupakan representatif dari negara berpenduduk 200 juta jiwa lebih ini, mayoritas muslim, terbesar di asia tenggara, justru tidak mendapatkan porsi pemberitaan di media setempat. Ibaratnya, jika Presiden datang, ya datanglah....Tidak ada perlakuan istimewa dan pemberitaan. Tapi jika Presiden China yang datang? Mungkin wartawan setempat sudah diwanti-wanti agar jangan sampai bobol berita kedatangannya itu.
Lihat saja, jika ada pose foto bersama Presiden dan Kepala Negara di kancah Internasional beberapa waktu lalu. Di mana Presiden kita berdiri? Ya....di posisi paling pinggir, belakang lagi.
Ini suatu bentuk lemahnya bargaining position bangsa besar Indonesia di mata dunia. Dulu, jika Alm. Pak Harto (Presiden Ke-2 RI) batuk di forum internasional, semua peserta sudah sibuk mengiterpretasikan makna "batuk" itu. Jika Pak Harto tidak datang ke sebuah pertemuan Asean, bisa batal itu acara. Karena kedatangan Pak Harto waktu itu dikawal sangat ketat oleh TNI dan perlengkapannya. Sekarang apa?
Lalu, bagaimana nasib para pahlawan devisa kita? TKI dan TKW di luar negeri? Sudahkah Pemerintah kita menjamin keselamatannya? Sejauh mana upaya kita menekan bangsa lain yang mempekerjakan rakyat Indonesia yang terancam nyawanya? Adakah orang di luar sana, segan dan takut kepada WNI yang melancong ke luar negeri? Justru kita jadi bulan-bulanan. Kalau ke malaysia, kita disebut Indon (ungkapan kata yang meremehkan), lalu kalau datang sendiri ditanyakan siapa majikannya? Mau kemana? Uang ada berapa? Kapan pulang?. Pertanyaan sepele itu bertubi-tubi datang dalam beberapa detik saja.
Kasus terbaru lagi, Advokat senior Indonesia, Adnan Buyung Nasution atau akrab disapa Bang Buyung, dan mantan Jaksa Agung RI, Abdurrahman Saleh atau Pak Arman, diinterogasi di Singapura. Ditanya hal-hal sepele dan membosankan. Untung ada Mantan Menlu RI, Ali Alatas yang membantu membebaskannya.
Lalu, seorang pengusaha Indonesia di Jerman yang juga dicegat oleh polisi setempat. Penangkapan tiba-tiba itu dilakukan setelah adanya laporan dari Toko tempat ia berbelanja sebelumnya, bahwa kartu kreditnya bermasalah. Tindakan penangkapan itu sangat tidak sopan dan kasar. Ini sungguh telah menginjak-injak harga diri WNI dan Bangsanya. Setelah diiterogasi beberapa lama, akhirnya Pengusaha WNI itu dibebaskan tanpa ada masalah. Namun Polisi setempat tidak minta maaf.
Mampukah kita menekan bangsa lain itu bahwa keselamatan warganya yang di luar negeri sama dengan keselamatan seorang Kepala Negara atau Presidennya ketika berkunjung juga di sana?
Mengapa kita justru sibuk dengan memikirkan politik? Perebutan kekuasaan? dan perang opini di media? Bagaimana dengan nasib rakyat? Perbaikan sarana dan prasarana? Ketertiban dan ketenteraman?
Mengapa kita tidak segera melakukan pembenahan dari dalam? Apa saja yang masih tersisa di negeri ini? Atau mari kita serahkan saja negeri ini kepada tetangga agar bisa bagus jalannya, dan warga kita tidak lagi pindah/ migrasi ke negeri tetangga? Biar kita tau beres saja.
Sebelumnya, mari kita inventarisir dulu apa saja milik kita yang telah hilang dan menjadi milik orang lain dan sekarang menjadi begitu mahalnya.
1. Emas
Ada pulau yang penuh emas tapi masih ada penduduknya yang kekurangan "celana"! Rasa sayange...rasa sayang...sayange..ee lihat dari jauh rasa sayang....sayangee.......
2. Malu
Ini kan sudah lama hilangnya. Orang jelas sudah tahu kaya akan hasil korupsi koq malah gaya.
3. Martabat
Ini apakah termasuk milik kita yang hilang? Wah....ternyata tidak, malah kita bertanya lagi, apakah kita pernah punya?
Rasa Sayangee....rasa sayang...sayangee.....ee.......STOP! Inikan sudah menjadi milik tetangga juga, kenapa kita masih menyanyikannya? hehehehe.......
Yaa....tapi itung-itung, tenggorokan kan masih kita yang punya.....hahahahaha.....
Itulah....Bangsaku Indonesia Sayang-ku. Jika tidak waspada, negeri kita cuma punya hak guna usaha, sementara hak milik negeri kita sudah berpindah menjadi milik negara tetangga.
Na'udzubillahi minzalik..
Label: Indonesia sayang...
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda